Kamis, 09 Oktober 2008

Tiong Hoa



Meneropong Pembataian Etnis Tiong Hoa 1740 dalam Ni Hoe Kong: Kapiten Tiong Hoa di Betawi di Tahun 1740 karya B. Hoetink yang Disalin oleh Liem Koen Hian



Daniel Lev dalam kata pengantar Tiong Hoa dalam Pusaran Politik menyinggung problematika golongan minoritas dalam suatu masyarakat budaya sebagai golongan yang selalu menjadi sorotan dan bahan pengkambinghitaman. Pernyataannya dibuktikan dari gejala masyarakat pendatang atau masyarakat yang memiliki ras berbeda di suatu daerah tertentu, contohnya etnis Tiong Hoa yang sejak lama menghuni wilayah Hindia Belanda. Bangsa Tiong Hoa merupakan bangsa pendatang yang senantiasa mendapatkan gejolak pada periode tertentu akibat dari kebijakan penguasa.
Pada awal abad XX terjadi defisit besar dalam tubuh pemerintah Hindia Belanda. Dalam masalah besar tersebut, pemerintah Hindia Belanda menuding etnis Tiong Hoa sebagai sumber petaka. Etnis Tiong Hoa perusak perekonomian karena menguasai perdagangan pasar. Meskipun penyebab utama adalah korupsi pejabat dan penyelewengan dana, serta birokrasi, para jurnalis Belanda mencari-cari kesalahan dari pihak Tiong Hoa.
Maka tidak mengherankan, sebagai golongan minor, etnis Tiong Hoa senantiasa mendapat perlakuan kurang pantas, sasaran pembunuhan, penjarahan, dan pembantaian oleh pihak-pihak tertentu. Seleret lembaran hitam pernah tertoreh di kening penduduk Tiong Hoa di Indonesia: Tahun 1740 di Batavia terjadi pembantaian masal, pada masa Perang Jawa tahun 1825-1830 terjadi pembataian, pembunuhan masal etnis Tiong Hoa di Jawa pada tahun 1946-1948, peristiwa 10 Mei 1963 yang memakan korban kaum peranakan, peristiwa Malari 1974 hingga kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Seleret petaka pembantaian atas golongan Tiong Hoa memang berulang sebagaimana perputaran zaman dan sejarah. Lev memandang kasus Tiong Hoa dalam lajur sejarah Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi kaum pendatang minoritas. Politik dan ekonomi adalah latar yang memungkinkan kaum tersebut menjadi bulan-bulanan sebagaimana yang terjadi pada etnis Tiong Hoa.
Keterpurukan etnis Tiong Hoa pada masa-masa tertentu menyebabkan beberapa pengarang peranakan merituskannya dalam bentuk buku. Kemunculan buku sebagai media informasi adalah upaya tersendiri untuk mengukir sejarah etnisnya. Liem Koen Hiam, seorang wartawan dan juga aktivis menciptakan karya terjemahan bagi kaumnya yang pernah teraniaya pada tahun 1740. Melalui tokoh Ni Hoe Kong, esensi sebab akibat dari fakta pembantaian di Betawi itu terang terkuak.



Penyebab Pembantaian Etnis Tiong Hoa 1740
Saya membagi latar belakang terjadinya pembantaian Etnis Tiong Hoa di Betawi 1740 antara lain:
1. Batavia Kedatangan Imigran Tiong Hoa
Kedatangan bangsa Tiong Hoa sebenarnya sama tuanya dengan usia Betawi. Kedatangan mereka dilatarbelakangi oleh niat berdagang. Beberapa pendatang bekerja sebagai kuli kastil, memugar benteng dan saluran air. Berkat keuletan dan kegigihan, bangsa Tiong Hoa cepat menjadi saudagar. Bahkan perkebunan tebu, sebagian besar dikendalikan oleh golongan Tiong Hoa.
Keadaan yang makmur ini mengakibatkan Batavia seperti kutub magnet yang menarik serbuk besi. Dari berbagai penjuru, para pendatang golongan Tiong Hoa berdatangan untuk mengadu nasib. Hal tersebut memunculkan dugaan, banyaknya pengangguran. Warga Tiong Hoa yang tidak bekerja diibaratkan sebagai pengotor wilayah pemerintahan Gubernur Jenderal Valckenier.

2. Menurunnya Harga Gula di Hindia
Krisis di sektor penjulan yang diakibatkan oleh turunnya harga gula di pasaran ekspor membuat pemerintahan kehilangan omset. Pertama, munculnya saingan yaitu Malabar. Kedua, Iran sebagai pembeli utama pun dalam keadaan konflik. Ketiga, pengangguran yang semakin meningkat ditambah tidak surutnya para pendatang. Hal tersebut menyebabkan krisis keuangan sekaligus krisis sosilogis di tanah Betawi.
Maka Gubernur Jenderal Valkenier melakukan analisis terhadap kegagalan ekonomi tersebut. Disimpulkan, kerugian ini disebabkan oleh banyaknya penduduk Tiong Hoa yang menganggur. Sebab para penganggur makin memperburuk suasana, mereka bisa saja menjadi petaka dan biang dari sebuah kejahatan. Pengangguran bukanlah pemandangan yang bagus bagi Valckenier.

Selanjutnya semua orang Tiong Hoa musti dipandang seperti musuhnya pemerintah dan terutama para bukan pekerja. (NHK, 23)

Alwi Sahab mengatakan, hal yang menyebabkan timbulnya pemberontakan etnis Tiong Hoa di Batavia adalah kemiskinan para pekerja di pabrik-pabrik tebu akibat dari membludaknya gula di India.

3. Penangkapan Masal dan Pembuangan Warga Etnis Tiong Hoa ke Laut
Pemerintah Belanda memberlakukan kartu permisi sebagai tanda masuk Betawie. Namun, belakangan ketika warga Tiong Hoa diperlakukan tidak adil, beberapa warga Tiong Hoa yang merasa tidak puas hendak melakukan pemberontakan. Alasannya, mereka telah wajib membayar pajak usaha dan pajak penduduk. Mereka juga diperas perihal masalah kebirokrasian.

Di udik-udik Betawi tidak ada bestuur atau kepala-kepala, pada siapa orang Tiong Hoa yang diperlakukan tidak patut, bisa sampaikan pengaduannya. (NHK, 7)

Mereka bisa tahan banyak perlakuan yang tidak adil.... juga siksaan dan pemerasa oleh itu Komisaris dan pegawai-pegawainya. (NHK, 8)

Tiada mereka punya surat permisi atau tidak dari pemerintah. Kemudia sesudah mereka diperiksa oleh pengadilan dan dibikin raport tentang perpreksaan itu, perlakukan mereka sesukanya. (NHK, 5


Dari hasil analisis VOC disebutkan warga Tiong Hoa yang memiliki atau tidak memiliki surat permisi, harus diperiksa serta dibuat laporannya. Mereka dengan mudah memilih dan memilah para penganggur. Dalam kebijakan lain, mereka akhirnya diputuskan untuk dipindahkan ke Ceylon, sebuah wilayah di Afrika. Namun, desas-desus menyebar bahwa di laut mereka diceburkan sebagai santapan hiu. Hal tersebut memicu beberapa warga peranakan untuk bertindak. Mereka marah dan geram mendengar perlakuan pemerintah terhadap saudara-saudaranya.

Orang tiong Hoa yang dalam perjalanan ke Ceylon dilempar dalam laut. (NHK, 7)

Harga diri mereka diinjak. Hasutan demi hasutan terjalin hingga ke pelosok-pelosok gang sehingga rasa kebersamaa mereka muncul. Kemarahan warga Tiong Hoa di Batavia menyebabkan adanya pemberontakan dan penjarahan. Warga Tiong Hoa yang telah merumuskan penjarahan, melakukan aksinya di tengah malam. Mereka dapat melakukannya dengan leluasa sebab di kawasan yang menjadi lahan operasi tidak terdapat penjaga.

Di udik-udik Betawi kawasan perusuh bisa berlaku dengan leluasa karena dis itu tidak ada bestuur maka pemerintah tidak tahu apa yang terjadi. (NHK, 7)

Lantaran itu maka beberapa orang yang berkepala panas telah bisa hasut orang-orang yang baik-baik buat berontak. (NHK, 7)

Terjadinya Pemberontakan etnis Tiong Hoa yang disebabkan oleh pembuangan warga Tiong Hoa ke laut, saya kira adalah luapan emosi dari warga Tiong Hoa saat mereka mendengar desas-desus. Padahal mereka sebenarnya tahu, mereka hidup di bawah tatanan hukum pemerintahan Belanda yang memiliki jantung pertahanan kuat. Kekuasaan etnis Tiong Hoa tidaklah seberapa dibanding pemerintah, mereka hanya sebatas pedagang dan kuli murah di perkebunan tebu. Rumor pembuangan etnis Tiong Hoa ke Laut itu pun masih menjadi misteri kebenarannya. Remy Sylado melakukan penjelajahan yang cukup menarik dalam dramanya, 9 Oktober 1740 menggambarkan para tokoh menghadapi tekanan dari pihak pemerintahan Gubernur Jenderal Adrien Valckenier, bagaimana kisah para warga Cina yang akan dikirim ke Ceylon ternyata dibuang ke laut. Inilah pemicu timbulnya pemberontakan yang dilakukan oleh warga yang tetap tinggal di Betawi.
Akibatnya, hal tersebut menjadi buih kemarahan bagi Valckenier. Valckenier yang semula telah membenci warga Tiong Hoa, kembali dipanasi matanya oleh adanya ulah para pemberontak-pemberontak itu.

Gubernur Jenderal Valckenier kata demikian tentang, “besluit tanggal 25 Juli yang baru lalu perihal bangsat-bangsat Tiong Hoa, yang karena tidak punya mata pencarian yang pantas, baik di dalam kota maupun di dalam udik, telah mencari penghidupannya dengan jalan merampok, mencuri, dan membongkar rumah orang. (NHK, 4)

Maka kecurigaan Valckenier diwujudkan oleh tindakan impresif terhadap pemimpin mereka, Kapiten Betawi saat itu, Ni Hoe Kong dijadikan saksi sekaligus tersangka dari perbuatan etnisnya. Ni Hoe Kong ditangkap oleh badan militer dan diadili oleh Raad van Justitie tanpa pemeriksaan. Hal tersebut dianggap biasa bagi pemerintah sebab penjahat yang memiliki kasus pengkhianatan harus segera dituntaskan.
Kerusuhan yang disebabkan oleh beberapa orang etnis Tiong Hoa menjadikan warga Tiong Hoa lain yang hidup normal tanpa terjun ke dalam politik praktis, harus rela dipandang sebelah mata oleh pemerintah Belanda. Mereka mengalami depresi akibat kemarahan pemerintah Belanda. Akibatnya, mereka yang semula aman dalam perniagaan, menjadi terganggu.

Oleh karena itu maka telah terbit kekuatiran antara semua orang Tiong Hoa, yang tidak pegang pacth. Sebagian dari itu orang-orang Tiong Hoa lari ke Bantam dan banyak lagi telah lari ke udik-udik. (NHK, 5)






Jalannya Pembantaian
Tan Swie Ling mengatakan, kejadian pada tahun 1740 di Betawi kertas hitam. Baginya, Tiong Hoa di Indonesia merupakan masyarakat yang senantiasa hidup dalam keadaan was-was.
Tanggal 9 Oktober adalah puncak dari pembantaian etnis Tiong Hoa di Batavia. Gubernur Jenderal Valckenier melakukan operasi langsung ke lapangan, mencari warga Tiong Hoa. Beberapa pendapat menyebutkan sekitar 10.000 penduduk Tiong Hoa mati terbunuh oleh anak buah Valckenier. Mereka melakukan pembakaran dan pembantaian langsung terhadap golongan Tiong Hoa, bersalah atau tidak bersalah orang yang mereka temui.

Itu pemberontakan dari orang-orang Tiong Hoa musti dianggep besar artinya. Pemberontakan itu telah menyebabkan bilangan udik-udik di Betawi jadi binasa dan kehilangan penduduknya. Pemberontakan itu pun telah memberi lantaran pada pembunuhan besar, yang meyebabkan sangat banyak orang Tiong Hoa di ibu kota Betawi kehilangan jiwanya, harta bendannya dirampas atau dibakar, lantaran mana perniagaan dan pencarian jadi berhenti dan pembesar-pembesar yang berpangkat tinggi kehilangan jabatan, kemerdekaan dan nama yang baik. (NHK, 48)

Akibat dari pembantaian itu, warga Tiong Hoa yang kaya maupun miskin menjadi satu dalam penderitaan. Mereka dibinasakan, dari mulai penduduk Tang Lang (Tanggerang) sampai pemukiman Tiong Hoa di Glodok. Hasilnya, Valckenier dihukum mati sebab melanggar amanat yang diturunkan Kerajaan Belanda.

Kapiten Ni Hoe Kong
Jabatan kapiten didapatkan dari pemilihan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Belanda. Seorang kapiten biasanya haruslah terpandang di masyarakatnya. Hal ini yang dimiliki Ni Hoe Kong, ia terpandang sebab kaya raya. Ia memiliki perkebunan tebu. Sejarah jabatan itu juga tidak luput dari ayahnya yang juga seorang pemuka di kalangan warga Tiong Hoa.
Betawi yang begitu luas dihuni oleh 80.000 penduduk Tiong Hoa, mereka mendiami udik-udik atau kampung-kampung dan menyebar ke berbagai penjuru. Umumnya mereka menempati daerah pesisir dan sekitar perkebunan tebu.
Seorang kapiten didaulat menjadi penyambung antara warga Tiong Hoa dengan pemerintah, sekaligus menjadi penanggung jawab atas segala yang terjadi dengan etnisnya. Menghadapi tekanan pemerintah, Ni Hoekong berbicara kepada masyarakatnya, atas ketidaksukaannya terhadap pemerintah.
Pengkuannya Kapiten Ni Hoe Kong yang menerangkan tentang itu uring-uringan ia tidak bisa ceritakan lain sebab daripada itu penangkapan dari orang-orang Tiong Hoa yang disangka tidak baik, tentang penangkapan mana sudah diamjukan keberatan dengan patut dan sudah dibilang, penangkapan itu tidak patut adanya da itu orang-orang jadi kehilangan dalam satu saat miliknya yang mereka cari dalam tempo banyak tahun. (NHK, 6)

Tahun 1740 setelah pemberontakan etnis Tiong Hoa terjadi, Ni Hoe Kong ditangkap oleh pemerintah secara mendadak.

Rumahnya ditembak sampai hancur lebur dan dirampok. Ia sendiri dilempar ke dalam penjara, yang sesudah dirinya dibikin pemerikasaan lama, waktu mana siksaan pun tentu tidak terlu[u dari bagiannya... (NHK, 4)


Ni Hoe Kong dituduh sebagai dalang pergerakan etnis Tiong Hoa. Namun, beberapa kali ia menjawab bahwa ia tidak tahu menahu masalah pemberontakan itu. Hal ini membuat pemeriksaan terus berlanjut. Tanggal 21 Oktober Ni Hoe Kong mendapat siksaan dari hakim sebab Ni Hoe Kong tidak juga mengaku atas pergerakan itu.

Menurut Putusan dari kemarin maka ini hari pesakitan Ni Hoe Kong dibawa ke kamar siksa. Karena ha itu kelak membuatnya mengaku. (NHK, 74)

Di sini terlihat adanya pengadudombaan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Nie Hoe Kong sebagai kambing hitam bagi etnisnya sendiri. Beban Ni Hoe Kong ditambah oleh kesaksian warga Tiong Hoa yang menyatakan, Ni Hoe Kong adalah pemimpin pergerakan ini.
Nie Hoe Kong meninggal pada tahun 1746 di Ambon, tempat pengasingan bagi dirinya. Sebelumnya, ia hidup bersama istrinya secara normal di pulau yang jauh dari pemerintah. Setelah kematiannya, istri dan anaknya kembali ke Betawi beserta tulang belulang Ni Hoe Kong.







Kesimpulan
Etnis Tiong Hoa pada tahun 1740 mengalami kesengsaraan akibat tekanan kebijakan pemerintah Belanda. Sebab munculnya pemberontakan etnis Tiong Hoa di Betawi pada dasarnya dipicu oleh hasutan dan desas-desus bahwa warga Cina yang hendak dipindahkan ke Ceylon.
Buku ini sedikitnya menggambarkan luka warga Tiong Hoa akibat pembantaian masal tahun 1740 di Betawi. Luka itu termasuk kekerasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap warga Tiong Hoa.
Kapiten Ni Hoe Kong adalah tokoh ikon dari peristiwa ini. Ia adalah tokoh yang dituding sebagai dalang kerusuhan.
Buku ini semacam biografi singkat dari Ni Hoe Kong dalam menjalani pemeriksaan terkait pemberontakan. Dalam buku ini secara kronologis dipaparkan pengalaman Ni Hoe Kong di pengadilan dalam menghadi segala kemungkinan keputusan.















Daftar Pustaka
Hoetink, B. Ni Hoe Kong. 1912. Ni Hoe Kong Kapiten dari Betawi dalam Tahun 1740.
terj. Liem Koen Hian. Batavia: Naamlooze Vennootschap Handel & Drukkerij.

Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Terj. Dede Utomo.
Jakarta: PN Balai Pustaka.

Soetiono, Benny G. 2003.Tiong Hoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.

Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Peranakan Tiong Hoa Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Sylado, Remy. 2005. 9 Oktober 1740. Jakarta: KPG.

Sumber Internet


Cahyono, Edi. “Industri Gula di Jawa”, Web. http//fortunecity.co.id/42353/ind/33.19=ww. 23
Maret 2008, 12.00

Ling, Tan Swie. “Sekelumit Dengan Liem Koen Hian Dan Nasionalisme Indonesia Orang
Tionghoa” yang terbit di Forum Budaya Tiong Hoa. http.google.com/Liem Koen
Han/Forum Budaya Tiong Hoa. 23 Maret 2008, 13:00

Sihab, Alwi, “Pembantaian Glodok”, Republika Online. Web.
http//www/republika.co.id/ber//sumbupertam82662/pembantaian glodokrcf. 23
Maret 2008, 12:22





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda