Rabu, 08 Oktober 2008

HIP HIP SASTRA

Jantung Lebah Ratu: Menutup Makna, Menebar Bahasa
Aryo Wasisto*

Bukan Makna

Membaca Jantung Lebah Ratu (JLR), saya terperangkap ke dalam lautan pasimo, terhisap ke hutan bahasa yang ditumbuhi pepohonan metafora, benda-benda, nama tempat, ritma, rima, dan nama-nama. Entah, saya hendak dibawa kemana, melayang atau tenggelam. Saya tak dibiarkan mengurai makna yang berlesatan sebagaimana peluru mitraliur. Sajak-sajak Nirwan liar seperti ular di rawa. Setiap sajak mempesona untuk diunduh dan dicari butir maknanya, namun kegagalan akan singgah lebih dulu sebelum kita menemujawaban. Atau, kita malah tergelincuh ke makna yang begitu jauh. Barangkali harus menawar diri, dan berlama-lama: kesia-siaan.
JLR saya pastikan sebagai himpunan sajak mutakhir yang terbit pada tahun 2008, sajak yang mengendalikan pentingnya pemadatan estetika bahasa, memperlakukan “kata” sampai ke relung nadinya, menghempas makna ke nun jauh di sana. Penyair tidak mempedulikan makna: dia membiarkan pembaca menembus sampai batas yang terserah. Titik ego penyair sangat kentara. Pembuktiannya terlihat dari cara penayir jebolan ITB ini meliuk-liukan kata, kalimat, dan menciptakan frase-frase antik. Seorang Nirwan Dewanto telah mendalami tradisi puisi secara beda, namun secara konsisten ia memperlakukan wujudnya. Perkutatan, pencarian, dan perlawannnya terhadap dunia seni yang selama ini mengurungnya telah ditabrak dan dirombak.
Nirwan Dewanto menyadari sajak-sajaknya dalam JLR adalah susu dalam kegelapan yang walau bagaimana pun seseorang melacaknya, tidak akan pernah tercium oleh cahaya. Penyair tidak menelanjangi diri untuk melepas sesungguhnya makna ke wilayah pembaca.

SEMU

Puisiku hijau
seperti kulit limau.
Kupaslah, kupaslah
Dengan tangan yang lelah
Temukan daging kata bulat sempurna,
merah jingga terpiuh oleh laparmu.
Junjunglah urat kata dengan lidahmu
ampai menetes darah
.......
......
(semu)

Dalam sajak di atas Nirwan telah mewanti pembaca, sia-sialah mencari maknanya, atau carilah cara untuk menikmatinya. Inilah cara yang ditempuh Penyair demi menyembunyikan maksud dan isi. Lantas buat apa seorang Nirwan berseni jika tak sebutir sajaknya bermanfaat bagi pembaca?
Hijau seperti kulit limau merupakan ironi simbol. Nirwan memahami betapa segarnya kulit limau dalam bungkus pewangi ruangan, segarnya, dan suasana hijau limau. Namun, kulit limau yang masam akan membuat pencicip sedikit terkejut. Saya menyimpulkan kumpulan ini adalah kejutan di mana Nirwan telah mematok langkah bagi jalan pembaca. /Kupaslah kupaslah dengan tangan yang lelah/. Barangkali penyair akan memberi award, apabila seorang dapat menyajikan maknanya.

Temukan cairan kata
meradang, bening sempurna tak berinti
mampu mengalir ke seluruh bumi
tapi kau mencari jantung kata kuning
yang kau anggap milikmu
dan pernah nyala di lidah ibumu.
(Semu)


Pertanyaan keras, untuk apa Nirwan berseni jika tidak bermanfaat bagi pembacanya, terjawab dalam kutipan di atas. Paling tidak, ditubuhnya mengalir konsep seni untuk seni sebagaimana menikmati sekanvas lukisan abstrak, seseorang akan merasa terpuaskan oleh pencapaian atau usaha dalam dirinya sendiri untuk memisahkan yang konkret dengan yang abstrak. H.B. Jassin dalam maklumatnya, membina pagar antara prosa dan puisi . Puisi menurutnya lebih menitikbebankan kepada pengucapan esensi jiwa (perasaan), sedangkan prosa lebih pada pikiran. Pernyataan tersebut haruslah ditinjau lebih jauh lagi. Namun, dalam psikoanalisa Freud, kejiwaan atau perasaan seseorang bahkan libido adalah jalur utama bagi seorang melepaskan diri dari kompleksitas. Seni semacam itu dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak mungkin. Nirwan Dewanto, dalam buah karyanya saya kira telah melakukan proses kreatif yang setingkat di atas penyair lain. Dia membungkus rapat-rapat segala yang mungkin dapat dikejar. Dalam pencapaian ini, ia menyembunyikan makna, sebagaimana dalam tardisi puisi yang disebutkan Jassin di atas. Nirwan benar-benar terjun ke ruang hatinya sendiri, ke titik tergelap.
Tradisi semacam ini telah dilakukan oleh beberapa penyair senior: Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 70-an mengeluarkan kredo yang intinya mengembalikan kata kepada mulanya.
Apa yang dilakukan Sutardji adalah cara atau semacam cintanya kepada khalayak puisi. Tardji telah mengatur pembacanya sendiri mencapai kenikmatan puisinya.
Nirwan Dewanto berusaha sebisa mungkin menjauh dari pembacanya. Biarkan sajak-sajak itu menganak di kepala para pembaca. Ia tidak peduli sajaknya jadi apa di kepala pembaca: menjadi tahi, atau menjadi bunga, ia tidak sama sekali tidak ambil bagian.

Maafkan aku
Tak bisa kuceritakan diriku: dengarlah,
cangkang telur atau kulit limau
hanya samaranku
Aku sayap kata terbang sendiri,
birahi sendiri hingga hancur aku
Kau tak bisa menjakauku
jika pun kau seluas langit lazuardi
sebab kata sesungguh kata
tak bisa mengena
jika kau masih juga
separuh-membaca
separuh-bura
(Semu)

Orientasi Memilah Kata Membelah Makna

Membaca adalah sebuah hedonisme yang bisa dilakukan tanpa perasaan berdosa . Roland Barthes memandang teks dari segi plaisir. (kenikmatan karena mengerti dibaca) atau joissance (kenikmatan ekstatik karena efek-efek tak terduga dari yang dibacanya itu). Pembacaan mungkin akan dirasa bermanfaat apabila seseorang mendapatkan kenikmatan.
Dari pembacaan JLR, tidak disepakati pembacaan yang mutlak atas kenikmatan. Melihat (menembus) sajak-sajak Nirwan dalam konteks kenikmatan bahasa, cobalah untuk membuka lagi sajak-sajak angkatan Pujangga Baru. Setiap bahasa di dalamnya melukiskan gejolak batin penyair, tersampaikan dengan mendayu-dayu. Nirwan Dewanto tentulah masih dibayangi tradisi romantis-liris yang kini masih di bawah bayang-bayang Sapardi Djoko Damono, yang tentu masih terpengaruh oleh nafas Pujangga Baru: Rustam Efendi dan Sutan Takdir Alisyahbana. Hanya saja penyampaian yang dilakukan Nirwan lebih menelusur ke pencampaian penemuan bahasa.
Setiap penyair melakukan penjelajahan: membuka sanubari untuk mencari bahasa, karena bahasa adalah senjata penyair. Tentu, seorang Sapardi Djoko Damono tidak membiarkan bahasa dalam sajak-sajaknya hanya berkutat pada yang itu-itu saja, dia mestilah mengarung waktu dan mengembangkan pengalaman puitiknya. Pablo Neruda, seorang penyair asa Chili butuh waktu sebentar untuk mencari perkara, yang akhirnya disusupkan ke dalam sajaknya. Hasan Aspahani butuh merenung untuk mencari frase unik yang sekirnya tidak dimiliki penyair lain.
Nirwan Dewanto banyak menyusupkan nama-nama tokoh dan nomina asing. Maneke Budiman tidak menyebutnya sebagai enskilopedia, tapi lebih ke penjalajahan, yang mungkin dicari atau dipancing dengan berbagai cara. Mimesis, perekeman manusia atas yang dilihatnya di dunia telah disepadankan dalam kumpulan sajak ini.
Nirwan Dewanto barangkali merupakan seorang pelesir, ia begitu mudah merekam peristiwa: yang nyata atau pun yang “baca” atau bahkan yang maya. Jadi tidak heran, pengetahuannya melimpah. Atau, dia tidak membiarkan peristiwa-peristiwa yang dipenuhi nama-nama itu terlewat begitu saja.


Boogie Woogie

untuk Umar Kayam
Di Broadway, hanya di Broadway
langit bisa menggirangkan diri
dengan merah, semu merah,
merah Mao, merah Marilyn Monroe,
meski di setiap sudut surai salju
mengintai hendak memberkati
ungu magnolia musim semi,
hitam legam seragam polisi,
kuning taksi dan sepatu Armani,
kuning kunang-kunang tak tahu diri.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
sungguh merah tak pernah sampai
ke surga, betapapun ia meninggi
melampaui puncak menara tertinggi,
menjinjing jantung paling murni,
jantung tercuci kuas Balla dan Boccioni.
Di Broadway, hanya di Broadway
merah terkalung tenang ke leherku
(leher kadal gandrung Ragajampi)
sebelum memecah memanjang
seperti akanan, ketika gelombang
jingga memecah pasukan pemadam api,
kelabu membajak lidah para padri,
hijau terampas dari mata Lorca dan Marti.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
langit seperti berbentuk huruf Y
sebelum si lelaki rapi dari Amsterdam,
lelaki lencir kelam seperti daun pandan
(kuhapus namanya di sakuku: Mondriaan)
membentangkan putih, putih semata,
putih seluas sabana senjakala,
dan membariskan tujuh juta noktah
ke atasnya, tegak lurus silang-bersilang
seperti tujuh puluh salib tanpa pokok,
seperti simpang semua jalan New York,
noktah kuning kelabu biru merah,
kuning kunang-kunang tahu diri,
kelabu kaus kaki Januari,
biru dahi kereta bawah tanah,
merah tabah seperti duka nyonya
sebab terlalu lama ia bersandiwara
di Broadway, hanya di Broadway.



Orientasi Nirwan Dewanto mengarah penulisan yang berjarak, ia menjaraki diri dari pembaca . Sajak-sajaknya dapat dikatakan sebagai sajak yang mendikte, agar seorang merekam setiap tempat-tempat asing dan kata-kata di dalamnya. Saya katakan sajak ini sajak cerdas. Ia mencoba membawa pembaca untuk datang ke dalam tempat yang ia tulis. Atau mencari referensi di luar pengetahuan bacanya. Penjelajahan semacam ini juga pernah dituliskna oleh Sitor Situmorang , saat dia merindukan kampung halaman dan kejenuhannya di negeri Italia.
Sajak di atas adalah sajak yang menjelajah, dalam artian, sajak tersebut membuka cakrawala dari tardisi sajak kita sebelumnya, meluncur bebas ke satu kata ke kata lain, bersinggungan tapi menyembunyikan, mencipta isi hati yang hiperbola dan simbolik.
“Boogie Woogie” dipersembahkan untuk Umar Kayam, seorang yang kita kenal sebagai indonesiana dalam karyanya. Namun, pergumulan kata semua diperangkap ke Barat. Tersebut di atas Lorca dan Marti, Mondriaan, dan pelukis Balla dan Boccioni. Pengalaman apa yang ada antara Umar Kayam, sehingga setiap bait menumbuhkan dialog yang hanya antara Kayam dan Nirwan saja yang paham. Kadal Gandrung Ragajampi, apa pula ini? Metafora gramatika yang bagi saya yang tidak biasa.
Nirwan mengenal betul ranah hidupnya dikelilingi berbagai nomina-nomina, sehingga banyak dari sajaknya mengambil judul yang jauh dari pergulatan batin.
Mungkin agak serupa seperti sajak-sajak Goenawan Mohamad, dia juga terkenal sebagai penyair yang gelap, menyembunyikan maknanya di balik kata dan frase atau pengalaman menakjubkan yang disekam dalam nama-nama lukisan. Goenawan juga menggiring pembaca agar mengerti setiap tempat dan nomina yang dia sebut: Hammurabi, Praha, Trigis, Gatoloco, dsb. Dan di dalamnya memungkinkan penjebolan ulang dari sebilah konvensi yang diperam dalam puisi.
Lihat nomina-nomina, semu merah, merah Mao, merah Marilyn Monroe dalam sajak di atas. Sesuatu apa yang membawa Nirwan menelusur hingga ke sejauh ini untuk melukiskan warna merah di langit Broadway. Apakah ia merencakanan pembentukan rima yang tetap dan memaksa nomina-nomina tersebut menjadi selantun bait yang tak biasa. Barangkali iya, tapi barangkali ini adalah keputusan seninya.
Dalam wawanaranya dengan Ook Nugroho , Nirwan mengaku bahwa ibu puisinya adalah bahasa Indonesia, sementara bapak puisinya bisa saja puisi luar, puisi tetangga, puisi siapa pun. Dia mudah merasa cemerlang oleh puisi-puisi mutakhir. Ia butuh juga untuk membuang apa yang telah ditelannya. Sajak baginya adalah sesuatu yang menantang segala macam bentuk komunikasinya. Dapat dikatakan, Nirwan Dewanto banyak mereferensikan dirinya ke masalah kehidupan dan peristiwa, yang tentu didapat dari buku dan diskusi para sahabatny.
Contoh, untuk menciptakan “Bubu”, Nirwan Dewanto diperhadapkan oleh peristiwa pematung Anusapati.
Pemilihan kata yang dilakukan Nirwan Dewanto bagi saya penjangkauan yang luar biasa.

Senjata Penyair Adalah Bahasa

Menaklukan sajak Nirwan, saya telah sampai pada titik jenuh. Semula saya merasa seperti orang yang merugi ketika tidak bisa mengungkapnya. Namun, Nirwan Dewanto, dalam tulisannya sendiri “Pembacaan Dekat dan Pembacaan Jauh ”, menyadari betul makna sajak sebagai muatan yang tidak bisa dibendung. Sajak jika dihidangkan di meja kritikus akan melahirkan banyak sesuatu karena sifatnya yang tidak mubazir: bahkan dari tanda baca bisa jadi makna.
Bagaimana jika kegelapan sajak dihidangkan ke pembaca. Maka, nikmatilah bahasanya.
Sepakat kita katakan yang mencolok dari JLR adalah bahasanya, penempatan nomina yang tidak biasa dan penjelajahan dimensi: lukisan, kota Luar, istilah-istilah asing yang kurang akrab di Indonesia. Oleh sebab itu, pengetahuan luar sebelum membaca Nirwan mestilah ada Bahasa yang sedemikian misteri, mengawang, dan menjelajah itu diproduksi oleh seorang penyair yang juga mempelajari bahasa dengan berbagai jalan.
“Blues” adalah penjelajahan individual. Bahasa yang hiperbola dipastikan merupakan seduhan bagi pengalamannya terhadap kisah pedih.

Sampai mawar-halilintar itu tumbuh subur melebihi wajahku sendiri. Lihat, betapa durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi. Tapi aku segera terbangun, menguncup, menusuk bola matamu, sebelum akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari… (Blues)


Tidak ditemukan pembicaraan yang serius mengarah ke konteks politik. Semua sajaknya hampir membicarakan yang entah. Kalimat demi kalimat berloncatan, namun membekasaskan metafora, kalibut, dan nama-nama. Bahkan serupa ruang batin yang begitu sederhana: sebagaimana anak melukis apa yang dilihatnya di alam. Tengok sajak, “Apel”, “Tiga Biola Tuan Gris”, yang bagi saya adalah pemadatan deskripsi dan lingkar posisi, penerapan leksem-leksem Tidak sebagaimana sajak Taufik Ismail, yang memetuah, mengajar, mengajak, dan menghimbau pembaca agar berhati jernih.
Hampir dipastikan semua sajak Nirwan mengarah ke pergolakan dirinya dengan seseorang lain, yaitu sisi lainnya sendiri. Terlihat di sajak “Kopi”.

Di tangan lelaki itu, kami coba bersabar.
Namun betapa cangkir ini gemetar
oleh tubuh kami, gairah kami
yang luas seperti langit Potosi.
Menuju kami wajah lelaki itu.
Kami akan naik ke mulut lelaki itu,
aku dan kembaranku,
aku dan seteruku:
(Kopi)




Nirwan Dewanto

JLR adalah himpunan sajak Nirwan yang pertama. Sebelumnya pada tahun 90-an, ia merencanakan akan membuat buku sajak dengan judul “Buku Cacing”. Namun, hal itu diurungkan sebab ia menganggap karya lamanya tidak berkenan di hatinya, atau seorang Nirwan belum mendapatkan puncak sajaknya.
Nirwan bekerja sebagai kurator seni rupa di Tater Utan Kayu. Pekerjaan ini meyakinkan saya, ia menuliskan banyak istilah lukisan dan patung dalam JLR. Nirwan berkhidmat sebagai penulis artikel di Freedom Institute. Selain itu, ia mengurus Jurnal Kalam, asuhan Teater Utan Kayu.
Orienasi Nirwan adalah penjelajahan yang bebas, sajaknya lepas sebagaimana ideologinya yang tidak tercantum dalam ideologi yang mencolok. Ia memang berada di Jaringan Islam Liberal, tapi dalam sajaknya tidak saya temukan falsafah pembicaraan Tuhan secara inten.







Daftar Bacaan

Dewanto, Nirwan. 2008. Jantung Lebah Ratu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
--------------------. “Dalam Bayangan Kanon Sastra.” Kompas 29 Januari 1995, 17.
Jassin, H.B. 1983. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Sastrowardoyo, Subagio. 1980. Sosok Penyair dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern Jilid II. Bandung: Karya Nusantara.
Wibowo, Wahyu. 1991. Model Waktu dalam Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono.
Jakarta: Balai Pustaka.

*Lelaki kelahiran Jakarta 1986 ini masih menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Budaya UI. Peminat sastra, filsafat, musik (indie), agama dan budaya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda