Kamis, 09 Oktober 2008

Tiong Hoa



Meneropong Pembataian Etnis Tiong Hoa 1740 dalam Ni Hoe Kong: Kapiten Tiong Hoa di Betawi di Tahun 1740 karya B. Hoetink yang Disalin oleh Liem Koen Hian



Daniel Lev dalam kata pengantar Tiong Hoa dalam Pusaran Politik menyinggung problematika golongan minoritas dalam suatu masyarakat budaya sebagai golongan yang selalu menjadi sorotan dan bahan pengkambinghitaman. Pernyataannya dibuktikan dari gejala masyarakat pendatang atau masyarakat yang memiliki ras berbeda di suatu daerah tertentu, contohnya etnis Tiong Hoa yang sejak lama menghuni wilayah Hindia Belanda. Bangsa Tiong Hoa merupakan bangsa pendatang yang senantiasa mendapatkan gejolak pada periode tertentu akibat dari kebijakan penguasa.
Pada awal abad XX terjadi defisit besar dalam tubuh pemerintah Hindia Belanda. Dalam masalah besar tersebut, pemerintah Hindia Belanda menuding etnis Tiong Hoa sebagai sumber petaka. Etnis Tiong Hoa perusak perekonomian karena menguasai perdagangan pasar. Meskipun penyebab utama adalah korupsi pejabat dan penyelewengan dana, serta birokrasi, para jurnalis Belanda mencari-cari kesalahan dari pihak Tiong Hoa.
Maka tidak mengherankan, sebagai golongan minor, etnis Tiong Hoa senantiasa mendapat perlakuan kurang pantas, sasaran pembunuhan, penjarahan, dan pembantaian oleh pihak-pihak tertentu. Seleret lembaran hitam pernah tertoreh di kening penduduk Tiong Hoa di Indonesia: Tahun 1740 di Batavia terjadi pembantaian masal, pada masa Perang Jawa tahun 1825-1830 terjadi pembataian, pembunuhan masal etnis Tiong Hoa di Jawa pada tahun 1946-1948, peristiwa 10 Mei 1963 yang memakan korban kaum peranakan, peristiwa Malari 1974 hingga kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Seleret petaka pembantaian atas golongan Tiong Hoa memang berulang sebagaimana perputaran zaman dan sejarah. Lev memandang kasus Tiong Hoa dalam lajur sejarah Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi kaum pendatang minoritas. Politik dan ekonomi adalah latar yang memungkinkan kaum tersebut menjadi bulan-bulanan sebagaimana yang terjadi pada etnis Tiong Hoa.
Keterpurukan etnis Tiong Hoa pada masa-masa tertentu menyebabkan beberapa pengarang peranakan merituskannya dalam bentuk buku. Kemunculan buku sebagai media informasi adalah upaya tersendiri untuk mengukir sejarah etnisnya. Liem Koen Hiam, seorang wartawan dan juga aktivis menciptakan karya terjemahan bagi kaumnya yang pernah teraniaya pada tahun 1740. Melalui tokoh Ni Hoe Kong, esensi sebab akibat dari fakta pembantaian di Betawi itu terang terkuak.



Penyebab Pembantaian Etnis Tiong Hoa 1740
Saya membagi latar belakang terjadinya pembantaian Etnis Tiong Hoa di Betawi 1740 antara lain:
1. Batavia Kedatangan Imigran Tiong Hoa
Kedatangan bangsa Tiong Hoa sebenarnya sama tuanya dengan usia Betawi. Kedatangan mereka dilatarbelakangi oleh niat berdagang. Beberapa pendatang bekerja sebagai kuli kastil, memugar benteng dan saluran air. Berkat keuletan dan kegigihan, bangsa Tiong Hoa cepat menjadi saudagar. Bahkan perkebunan tebu, sebagian besar dikendalikan oleh golongan Tiong Hoa.
Keadaan yang makmur ini mengakibatkan Batavia seperti kutub magnet yang menarik serbuk besi. Dari berbagai penjuru, para pendatang golongan Tiong Hoa berdatangan untuk mengadu nasib. Hal tersebut memunculkan dugaan, banyaknya pengangguran. Warga Tiong Hoa yang tidak bekerja diibaratkan sebagai pengotor wilayah pemerintahan Gubernur Jenderal Valckenier.

2. Menurunnya Harga Gula di Hindia
Krisis di sektor penjulan yang diakibatkan oleh turunnya harga gula di pasaran ekspor membuat pemerintahan kehilangan omset. Pertama, munculnya saingan yaitu Malabar. Kedua, Iran sebagai pembeli utama pun dalam keadaan konflik. Ketiga, pengangguran yang semakin meningkat ditambah tidak surutnya para pendatang. Hal tersebut menyebabkan krisis keuangan sekaligus krisis sosilogis di tanah Betawi.
Maka Gubernur Jenderal Valkenier melakukan analisis terhadap kegagalan ekonomi tersebut. Disimpulkan, kerugian ini disebabkan oleh banyaknya penduduk Tiong Hoa yang menganggur. Sebab para penganggur makin memperburuk suasana, mereka bisa saja menjadi petaka dan biang dari sebuah kejahatan. Pengangguran bukanlah pemandangan yang bagus bagi Valckenier.

Selanjutnya semua orang Tiong Hoa musti dipandang seperti musuhnya pemerintah dan terutama para bukan pekerja. (NHK, 23)

Alwi Sahab mengatakan, hal yang menyebabkan timbulnya pemberontakan etnis Tiong Hoa di Batavia adalah kemiskinan para pekerja di pabrik-pabrik tebu akibat dari membludaknya gula di India.

3. Penangkapan Masal dan Pembuangan Warga Etnis Tiong Hoa ke Laut
Pemerintah Belanda memberlakukan kartu permisi sebagai tanda masuk Betawie. Namun, belakangan ketika warga Tiong Hoa diperlakukan tidak adil, beberapa warga Tiong Hoa yang merasa tidak puas hendak melakukan pemberontakan. Alasannya, mereka telah wajib membayar pajak usaha dan pajak penduduk. Mereka juga diperas perihal masalah kebirokrasian.

Di udik-udik Betawi tidak ada bestuur atau kepala-kepala, pada siapa orang Tiong Hoa yang diperlakukan tidak patut, bisa sampaikan pengaduannya. (NHK, 7)

Mereka bisa tahan banyak perlakuan yang tidak adil.... juga siksaan dan pemerasa oleh itu Komisaris dan pegawai-pegawainya. (NHK, 8)

Tiada mereka punya surat permisi atau tidak dari pemerintah. Kemudia sesudah mereka diperiksa oleh pengadilan dan dibikin raport tentang perpreksaan itu, perlakukan mereka sesukanya. (NHK, 5


Dari hasil analisis VOC disebutkan warga Tiong Hoa yang memiliki atau tidak memiliki surat permisi, harus diperiksa serta dibuat laporannya. Mereka dengan mudah memilih dan memilah para penganggur. Dalam kebijakan lain, mereka akhirnya diputuskan untuk dipindahkan ke Ceylon, sebuah wilayah di Afrika. Namun, desas-desus menyebar bahwa di laut mereka diceburkan sebagai santapan hiu. Hal tersebut memicu beberapa warga peranakan untuk bertindak. Mereka marah dan geram mendengar perlakuan pemerintah terhadap saudara-saudaranya.

Orang tiong Hoa yang dalam perjalanan ke Ceylon dilempar dalam laut. (NHK, 7)

Harga diri mereka diinjak. Hasutan demi hasutan terjalin hingga ke pelosok-pelosok gang sehingga rasa kebersamaa mereka muncul. Kemarahan warga Tiong Hoa di Batavia menyebabkan adanya pemberontakan dan penjarahan. Warga Tiong Hoa yang telah merumuskan penjarahan, melakukan aksinya di tengah malam. Mereka dapat melakukannya dengan leluasa sebab di kawasan yang menjadi lahan operasi tidak terdapat penjaga.

Di udik-udik Betawi kawasan perusuh bisa berlaku dengan leluasa karena dis itu tidak ada bestuur maka pemerintah tidak tahu apa yang terjadi. (NHK, 7)

Lantaran itu maka beberapa orang yang berkepala panas telah bisa hasut orang-orang yang baik-baik buat berontak. (NHK, 7)

Terjadinya Pemberontakan etnis Tiong Hoa yang disebabkan oleh pembuangan warga Tiong Hoa ke laut, saya kira adalah luapan emosi dari warga Tiong Hoa saat mereka mendengar desas-desus. Padahal mereka sebenarnya tahu, mereka hidup di bawah tatanan hukum pemerintahan Belanda yang memiliki jantung pertahanan kuat. Kekuasaan etnis Tiong Hoa tidaklah seberapa dibanding pemerintah, mereka hanya sebatas pedagang dan kuli murah di perkebunan tebu. Rumor pembuangan etnis Tiong Hoa ke Laut itu pun masih menjadi misteri kebenarannya. Remy Sylado melakukan penjelajahan yang cukup menarik dalam dramanya, 9 Oktober 1740 menggambarkan para tokoh menghadapi tekanan dari pihak pemerintahan Gubernur Jenderal Adrien Valckenier, bagaimana kisah para warga Cina yang akan dikirim ke Ceylon ternyata dibuang ke laut. Inilah pemicu timbulnya pemberontakan yang dilakukan oleh warga yang tetap tinggal di Betawi.
Akibatnya, hal tersebut menjadi buih kemarahan bagi Valckenier. Valckenier yang semula telah membenci warga Tiong Hoa, kembali dipanasi matanya oleh adanya ulah para pemberontak-pemberontak itu.

Gubernur Jenderal Valckenier kata demikian tentang, “besluit tanggal 25 Juli yang baru lalu perihal bangsat-bangsat Tiong Hoa, yang karena tidak punya mata pencarian yang pantas, baik di dalam kota maupun di dalam udik, telah mencari penghidupannya dengan jalan merampok, mencuri, dan membongkar rumah orang. (NHK, 4)

Maka kecurigaan Valckenier diwujudkan oleh tindakan impresif terhadap pemimpin mereka, Kapiten Betawi saat itu, Ni Hoe Kong dijadikan saksi sekaligus tersangka dari perbuatan etnisnya. Ni Hoe Kong ditangkap oleh badan militer dan diadili oleh Raad van Justitie tanpa pemeriksaan. Hal tersebut dianggap biasa bagi pemerintah sebab penjahat yang memiliki kasus pengkhianatan harus segera dituntaskan.
Kerusuhan yang disebabkan oleh beberapa orang etnis Tiong Hoa menjadikan warga Tiong Hoa lain yang hidup normal tanpa terjun ke dalam politik praktis, harus rela dipandang sebelah mata oleh pemerintah Belanda. Mereka mengalami depresi akibat kemarahan pemerintah Belanda. Akibatnya, mereka yang semula aman dalam perniagaan, menjadi terganggu.

Oleh karena itu maka telah terbit kekuatiran antara semua orang Tiong Hoa, yang tidak pegang pacth. Sebagian dari itu orang-orang Tiong Hoa lari ke Bantam dan banyak lagi telah lari ke udik-udik. (NHK, 5)






Jalannya Pembantaian
Tan Swie Ling mengatakan, kejadian pada tahun 1740 di Betawi kertas hitam. Baginya, Tiong Hoa di Indonesia merupakan masyarakat yang senantiasa hidup dalam keadaan was-was.
Tanggal 9 Oktober adalah puncak dari pembantaian etnis Tiong Hoa di Batavia. Gubernur Jenderal Valckenier melakukan operasi langsung ke lapangan, mencari warga Tiong Hoa. Beberapa pendapat menyebutkan sekitar 10.000 penduduk Tiong Hoa mati terbunuh oleh anak buah Valckenier. Mereka melakukan pembakaran dan pembantaian langsung terhadap golongan Tiong Hoa, bersalah atau tidak bersalah orang yang mereka temui.

Itu pemberontakan dari orang-orang Tiong Hoa musti dianggep besar artinya. Pemberontakan itu telah menyebabkan bilangan udik-udik di Betawi jadi binasa dan kehilangan penduduknya. Pemberontakan itu pun telah memberi lantaran pada pembunuhan besar, yang meyebabkan sangat banyak orang Tiong Hoa di ibu kota Betawi kehilangan jiwanya, harta bendannya dirampas atau dibakar, lantaran mana perniagaan dan pencarian jadi berhenti dan pembesar-pembesar yang berpangkat tinggi kehilangan jabatan, kemerdekaan dan nama yang baik. (NHK, 48)

Akibat dari pembantaian itu, warga Tiong Hoa yang kaya maupun miskin menjadi satu dalam penderitaan. Mereka dibinasakan, dari mulai penduduk Tang Lang (Tanggerang) sampai pemukiman Tiong Hoa di Glodok. Hasilnya, Valckenier dihukum mati sebab melanggar amanat yang diturunkan Kerajaan Belanda.

Kapiten Ni Hoe Kong
Jabatan kapiten didapatkan dari pemilihan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Belanda. Seorang kapiten biasanya haruslah terpandang di masyarakatnya. Hal ini yang dimiliki Ni Hoe Kong, ia terpandang sebab kaya raya. Ia memiliki perkebunan tebu. Sejarah jabatan itu juga tidak luput dari ayahnya yang juga seorang pemuka di kalangan warga Tiong Hoa.
Betawi yang begitu luas dihuni oleh 80.000 penduduk Tiong Hoa, mereka mendiami udik-udik atau kampung-kampung dan menyebar ke berbagai penjuru. Umumnya mereka menempati daerah pesisir dan sekitar perkebunan tebu.
Seorang kapiten didaulat menjadi penyambung antara warga Tiong Hoa dengan pemerintah, sekaligus menjadi penanggung jawab atas segala yang terjadi dengan etnisnya. Menghadapi tekanan pemerintah, Ni Hoekong berbicara kepada masyarakatnya, atas ketidaksukaannya terhadap pemerintah.
Pengkuannya Kapiten Ni Hoe Kong yang menerangkan tentang itu uring-uringan ia tidak bisa ceritakan lain sebab daripada itu penangkapan dari orang-orang Tiong Hoa yang disangka tidak baik, tentang penangkapan mana sudah diamjukan keberatan dengan patut dan sudah dibilang, penangkapan itu tidak patut adanya da itu orang-orang jadi kehilangan dalam satu saat miliknya yang mereka cari dalam tempo banyak tahun. (NHK, 6)

Tahun 1740 setelah pemberontakan etnis Tiong Hoa terjadi, Ni Hoe Kong ditangkap oleh pemerintah secara mendadak.

Rumahnya ditembak sampai hancur lebur dan dirampok. Ia sendiri dilempar ke dalam penjara, yang sesudah dirinya dibikin pemerikasaan lama, waktu mana siksaan pun tentu tidak terlu[u dari bagiannya... (NHK, 4)


Ni Hoe Kong dituduh sebagai dalang pergerakan etnis Tiong Hoa. Namun, beberapa kali ia menjawab bahwa ia tidak tahu menahu masalah pemberontakan itu. Hal ini membuat pemeriksaan terus berlanjut. Tanggal 21 Oktober Ni Hoe Kong mendapat siksaan dari hakim sebab Ni Hoe Kong tidak juga mengaku atas pergerakan itu.

Menurut Putusan dari kemarin maka ini hari pesakitan Ni Hoe Kong dibawa ke kamar siksa. Karena ha itu kelak membuatnya mengaku. (NHK, 74)

Di sini terlihat adanya pengadudombaan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Nie Hoe Kong sebagai kambing hitam bagi etnisnya sendiri. Beban Ni Hoe Kong ditambah oleh kesaksian warga Tiong Hoa yang menyatakan, Ni Hoe Kong adalah pemimpin pergerakan ini.
Nie Hoe Kong meninggal pada tahun 1746 di Ambon, tempat pengasingan bagi dirinya. Sebelumnya, ia hidup bersama istrinya secara normal di pulau yang jauh dari pemerintah. Setelah kematiannya, istri dan anaknya kembali ke Betawi beserta tulang belulang Ni Hoe Kong.







Kesimpulan
Etnis Tiong Hoa pada tahun 1740 mengalami kesengsaraan akibat tekanan kebijakan pemerintah Belanda. Sebab munculnya pemberontakan etnis Tiong Hoa di Betawi pada dasarnya dipicu oleh hasutan dan desas-desus bahwa warga Cina yang hendak dipindahkan ke Ceylon.
Buku ini sedikitnya menggambarkan luka warga Tiong Hoa akibat pembantaian masal tahun 1740 di Betawi. Luka itu termasuk kekerasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap warga Tiong Hoa.
Kapiten Ni Hoe Kong adalah tokoh ikon dari peristiwa ini. Ia adalah tokoh yang dituding sebagai dalang kerusuhan.
Buku ini semacam biografi singkat dari Ni Hoe Kong dalam menjalani pemeriksaan terkait pemberontakan. Dalam buku ini secara kronologis dipaparkan pengalaman Ni Hoe Kong di pengadilan dalam menghadi segala kemungkinan keputusan.















Daftar Pustaka
Hoetink, B. Ni Hoe Kong. 1912. Ni Hoe Kong Kapiten dari Betawi dalam Tahun 1740.
terj. Liem Koen Hian. Batavia: Naamlooze Vennootschap Handel & Drukkerij.

Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Terj. Dede Utomo.
Jakarta: PN Balai Pustaka.

Soetiono, Benny G. 2003.Tiong Hoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.

Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Peranakan Tiong Hoa Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Sylado, Remy. 2005. 9 Oktober 1740. Jakarta: KPG.

Sumber Internet


Cahyono, Edi. “Industri Gula di Jawa”, Web. http//fortunecity.co.id/42353/ind/33.19=ww. 23
Maret 2008, 12.00

Ling, Tan Swie. “Sekelumit Dengan Liem Koen Hian Dan Nasionalisme Indonesia Orang
Tionghoa” yang terbit di Forum Budaya Tiong Hoa. http.google.com/Liem Koen
Han/Forum Budaya Tiong Hoa. 23 Maret 2008, 13:00

Sihab, Alwi, “Pembantaian Glodok”, Republika Online. Web.
http//www/republika.co.id/ber//sumbupertam82662/pembantaian glodokrcf. 23
Maret 2008, 12:22





Rabu, 08 Oktober 2008

HIP HIP SASTRA

Jantung Lebah Ratu: Menutup Makna, Menebar Bahasa
Aryo Wasisto*

Bukan Makna

Membaca Jantung Lebah Ratu (JLR), saya terperangkap ke dalam lautan pasimo, terhisap ke hutan bahasa yang ditumbuhi pepohonan metafora, benda-benda, nama tempat, ritma, rima, dan nama-nama. Entah, saya hendak dibawa kemana, melayang atau tenggelam. Saya tak dibiarkan mengurai makna yang berlesatan sebagaimana peluru mitraliur. Sajak-sajak Nirwan liar seperti ular di rawa. Setiap sajak mempesona untuk diunduh dan dicari butir maknanya, namun kegagalan akan singgah lebih dulu sebelum kita menemujawaban. Atau, kita malah tergelincuh ke makna yang begitu jauh. Barangkali harus menawar diri, dan berlama-lama: kesia-siaan.
JLR saya pastikan sebagai himpunan sajak mutakhir yang terbit pada tahun 2008, sajak yang mengendalikan pentingnya pemadatan estetika bahasa, memperlakukan “kata” sampai ke relung nadinya, menghempas makna ke nun jauh di sana. Penyair tidak mempedulikan makna: dia membiarkan pembaca menembus sampai batas yang terserah. Titik ego penyair sangat kentara. Pembuktiannya terlihat dari cara penayir jebolan ITB ini meliuk-liukan kata, kalimat, dan menciptakan frase-frase antik. Seorang Nirwan Dewanto telah mendalami tradisi puisi secara beda, namun secara konsisten ia memperlakukan wujudnya. Perkutatan, pencarian, dan perlawannnya terhadap dunia seni yang selama ini mengurungnya telah ditabrak dan dirombak.
Nirwan Dewanto menyadari sajak-sajaknya dalam JLR adalah susu dalam kegelapan yang walau bagaimana pun seseorang melacaknya, tidak akan pernah tercium oleh cahaya. Penyair tidak menelanjangi diri untuk melepas sesungguhnya makna ke wilayah pembaca.

SEMU

Puisiku hijau
seperti kulit limau.
Kupaslah, kupaslah
Dengan tangan yang lelah
Temukan daging kata bulat sempurna,
merah jingga terpiuh oleh laparmu.
Junjunglah urat kata dengan lidahmu
ampai menetes darah
.......
......
(semu)

Dalam sajak di atas Nirwan telah mewanti pembaca, sia-sialah mencari maknanya, atau carilah cara untuk menikmatinya. Inilah cara yang ditempuh Penyair demi menyembunyikan maksud dan isi. Lantas buat apa seorang Nirwan berseni jika tak sebutir sajaknya bermanfaat bagi pembaca?
Hijau seperti kulit limau merupakan ironi simbol. Nirwan memahami betapa segarnya kulit limau dalam bungkus pewangi ruangan, segarnya, dan suasana hijau limau. Namun, kulit limau yang masam akan membuat pencicip sedikit terkejut. Saya menyimpulkan kumpulan ini adalah kejutan di mana Nirwan telah mematok langkah bagi jalan pembaca. /Kupaslah kupaslah dengan tangan yang lelah/. Barangkali penyair akan memberi award, apabila seorang dapat menyajikan maknanya.

Temukan cairan kata
meradang, bening sempurna tak berinti
mampu mengalir ke seluruh bumi
tapi kau mencari jantung kata kuning
yang kau anggap milikmu
dan pernah nyala di lidah ibumu.
(Semu)


Pertanyaan keras, untuk apa Nirwan berseni jika tidak bermanfaat bagi pembacanya, terjawab dalam kutipan di atas. Paling tidak, ditubuhnya mengalir konsep seni untuk seni sebagaimana menikmati sekanvas lukisan abstrak, seseorang akan merasa terpuaskan oleh pencapaian atau usaha dalam dirinya sendiri untuk memisahkan yang konkret dengan yang abstrak. H.B. Jassin dalam maklumatnya, membina pagar antara prosa dan puisi . Puisi menurutnya lebih menitikbebankan kepada pengucapan esensi jiwa (perasaan), sedangkan prosa lebih pada pikiran. Pernyataan tersebut haruslah ditinjau lebih jauh lagi. Namun, dalam psikoanalisa Freud, kejiwaan atau perasaan seseorang bahkan libido adalah jalur utama bagi seorang melepaskan diri dari kompleksitas. Seni semacam itu dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak mungkin. Nirwan Dewanto, dalam buah karyanya saya kira telah melakukan proses kreatif yang setingkat di atas penyair lain. Dia membungkus rapat-rapat segala yang mungkin dapat dikejar. Dalam pencapaian ini, ia menyembunyikan makna, sebagaimana dalam tardisi puisi yang disebutkan Jassin di atas. Nirwan benar-benar terjun ke ruang hatinya sendiri, ke titik tergelap.
Tradisi semacam ini telah dilakukan oleh beberapa penyair senior: Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 70-an mengeluarkan kredo yang intinya mengembalikan kata kepada mulanya.
Apa yang dilakukan Sutardji adalah cara atau semacam cintanya kepada khalayak puisi. Tardji telah mengatur pembacanya sendiri mencapai kenikmatan puisinya.
Nirwan Dewanto berusaha sebisa mungkin menjauh dari pembacanya. Biarkan sajak-sajak itu menganak di kepala para pembaca. Ia tidak peduli sajaknya jadi apa di kepala pembaca: menjadi tahi, atau menjadi bunga, ia tidak sama sekali tidak ambil bagian.

Maafkan aku
Tak bisa kuceritakan diriku: dengarlah,
cangkang telur atau kulit limau
hanya samaranku
Aku sayap kata terbang sendiri,
birahi sendiri hingga hancur aku
Kau tak bisa menjakauku
jika pun kau seluas langit lazuardi
sebab kata sesungguh kata
tak bisa mengena
jika kau masih juga
separuh-membaca
separuh-bura
(Semu)

Orientasi Memilah Kata Membelah Makna

Membaca adalah sebuah hedonisme yang bisa dilakukan tanpa perasaan berdosa . Roland Barthes memandang teks dari segi plaisir. (kenikmatan karena mengerti dibaca) atau joissance (kenikmatan ekstatik karena efek-efek tak terduga dari yang dibacanya itu). Pembacaan mungkin akan dirasa bermanfaat apabila seseorang mendapatkan kenikmatan.
Dari pembacaan JLR, tidak disepakati pembacaan yang mutlak atas kenikmatan. Melihat (menembus) sajak-sajak Nirwan dalam konteks kenikmatan bahasa, cobalah untuk membuka lagi sajak-sajak angkatan Pujangga Baru. Setiap bahasa di dalamnya melukiskan gejolak batin penyair, tersampaikan dengan mendayu-dayu. Nirwan Dewanto tentulah masih dibayangi tradisi romantis-liris yang kini masih di bawah bayang-bayang Sapardi Djoko Damono, yang tentu masih terpengaruh oleh nafas Pujangga Baru: Rustam Efendi dan Sutan Takdir Alisyahbana. Hanya saja penyampaian yang dilakukan Nirwan lebih menelusur ke pencampaian penemuan bahasa.
Setiap penyair melakukan penjelajahan: membuka sanubari untuk mencari bahasa, karena bahasa adalah senjata penyair. Tentu, seorang Sapardi Djoko Damono tidak membiarkan bahasa dalam sajak-sajaknya hanya berkutat pada yang itu-itu saja, dia mestilah mengarung waktu dan mengembangkan pengalaman puitiknya. Pablo Neruda, seorang penyair asa Chili butuh waktu sebentar untuk mencari perkara, yang akhirnya disusupkan ke dalam sajaknya. Hasan Aspahani butuh merenung untuk mencari frase unik yang sekirnya tidak dimiliki penyair lain.
Nirwan Dewanto banyak menyusupkan nama-nama tokoh dan nomina asing. Maneke Budiman tidak menyebutnya sebagai enskilopedia, tapi lebih ke penjalajahan, yang mungkin dicari atau dipancing dengan berbagai cara. Mimesis, perekeman manusia atas yang dilihatnya di dunia telah disepadankan dalam kumpulan sajak ini.
Nirwan Dewanto barangkali merupakan seorang pelesir, ia begitu mudah merekam peristiwa: yang nyata atau pun yang “baca” atau bahkan yang maya. Jadi tidak heran, pengetahuannya melimpah. Atau, dia tidak membiarkan peristiwa-peristiwa yang dipenuhi nama-nama itu terlewat begitu saja.


Boogie Woogie

untuk Umar Kayam
Di Broadway, hanya di Broadway
langit bisa menggirangkan diri
dengan merah, semu merah,
merah Mao, merah Marilyn Monroe,
meski di setiap sudut surai salju
mengintai hendak memberkati
ungu magnolia musim semi,
hitam legam seragam polisi,
kuning taksi dan sepatu Armani,
kuning kunang-kunang tak tahu diri.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
sungguh merah tak pernah sampai
ke surga, betapapun ia meninggi
melampaui puncak menara tertinggi,
menjinjing jantung paling murni,
jantung tercuci kuas Balla dan Boccioni.
Di Broadway, hanya di Broadway
merah terkalung tenang ke leherku
(leher kadal gandrung Ragajampi)
sebelum memecah memanjang
seperti akanan, ketika gelombang
jingga memecah pasukan pemadam api,
kelabu membajak lidah para padri,
hijau terampas dari mata Lorca dan Marti.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
langit seperti berbentuk huruf Y
sebelum si lelaki rapi dari Amsterdam,
lelaki lencir kelam seperti daun pandan
(kuhapus namanya di sakuku: Mondriaan)
membentangkan putih, putih semata,
putih seluas sabana senjakala,
dan membariskan tujuh juta noktah
ke atasnya, tegak lurus silang-bersilang
seperti tujuh puluh salib tanpa pokok,
seperti simpang semua jalan New York,
noktah kuning kelabu biru merah,
kuning kunang-kunang tahu diri,
kelabu kaus kaki Januari,
biru dahi kereta bawah tanah,
merah tabah seperti duka nyonya
sebab terlalu lama ia bersandiwara
di Broadway, hanya di Broadway.



Orientasi Nirwan Dewanto mengarah penulisan yang berjarak, ia menjaraki diri dari pembaca . Sajak-sajaknya dapat dikatakan sebagai sajak yang mendikte, agar seorang merekam setiap tempat-tempat asing dan kata-kata di dalamnya. Saya katakan sajak ini sajak cerdas. Ia mencoba membawa pembaca untuk datang ke dalam tempat yang ia tulis. Atau mencari referensi di luar pengetahuan bacanya. Penjelajahan semacam ini juga pernah dituliskna oleh Sitor Situmorang , saat dia merindukan kampung halaman dan kejenuhannya di negeri Italia.
Sajak di atas adalah sajak yang menjelajah, dalam artian, sajak tersebut membuka cakrawala dari tardisi sajak kita sebelumnya, meluncur bebas ke satu kata ke kata lain, bersinggungan tapi menyembunyikan, mencipta isi hati yang hiperbola dan simbolik.
“Boogie Woogie” dipersembahkan untuk Umar Kayam, seorang yang kita kenal sebagai indonesiana dalam karyanya. Namun, pergumulan kata semua diperangkap ke Barat. Tersebut di atas Lorca dan Marti, Mondriaan, dan pelukis Balla dan Boccioni. Pengalaman apa yang ada antara Umar Kayam, sehingga setiap bait menumbuhkan dialog yang hanya antara Kayam dan Nirwan saja yang paham. Kadal Gandrung Ragajampi, apa pula ini? Metafora gramatika yang bagi saya yang tidak biasa.
Nirwan mengenal betul ranah hidupnya dikelilingi berbagai nomina-nomina, sehingga banyak dari sajaknya mengambil judul yang jauh dari pergulatan batin.
Mungkin agak serupa seperti sajak-sajak Goenawan Mohamad, dia juga terkenal sebagai penyair yang gelap, menyembunyikan maknanya di balik kata dan frase atau pengalaman menakjubkan yang disekam dalam nama-nama lukisan. Goenawan juga menggiring pembaca agar mengerti setiap tempat dan nomina yang dia sebut: Hammurabi, Praha, Trigis, Gatoloco, dsb. Dan di dalamnya memungkinkan penjebolan ulang dari sebilah konvensi yang diperam dalam puisi.
Lihat nomina-nomina, semu merah, merah Mao, merah Marilyn Monroe dalam sajak di atas. Sesuatu apa yang membawa Nirwan menelusur hingga ke sejauh ini untuk melukiskan warna merah di langit Broadway. Apakah ia merencakanan pembentukan rima yang tetap dan memaksa nomina-nomina tersebut menjadi selantun bait yang tak biasa. Barangkali iya, tapi barangkali ini adalah keputusan seninya.
Dalam wawanaranya dengan Ook Nugroho , Nirwan mengaku bahwa ibu puisinya adalah bahasa Indonesia, sementara bapak puisinya bisa saja puisi luar, puisi tetangga, puisi siapa pun. Dia mudah merasa cemerlang oleh puisi-puisi mutakhir. Ia butuh juga untuk membuang apa yang telah ditelannya. Sajak baginya adalah sesuatu yang menantang segala macam bentuk komunikasinya. Dapat dikatakan, Nirwan Dewanto banyak mereferensikan dirinya ke masalah kehidupan dan peristiwa, yang tentu didapat dari buku dan diskusi para sahabatny.
Contoh, untuk menciptakan “Bubu”, Nirwan Dewanto diperhadapkan oleh peristiwa pematung Anusapati.
Pemilihan kata yang dilakukan Nirwan Dewanto bagi saya penjangkauan yang luar biasa.

Senjata Penyair Adalah Bahasa

Menaklukan sajak Nirwan, saya telah sampai pada titik jenuh. Semula saya merasa seperti orang yang merugi ketika tidak bisa mengungkapnya. Namun, Nirwan Dewanto, dalam tulisannya sendiri “Pembacaan Dekat dan Pembacaan Jauh ”, menyadari betul makna sajak sebagai muatan yang tidak bisa dibendung. Sajak jika dihidangkan di meja kritikus akan melahirkan banyak sesuatu karena sifatnya yang tidak mubazir: bahkan dari tanda baca bisa jadi makna.
Bagaimana jika kegelapan sajak dihidangkan ke pembaca. Maka, nikmatilah bahasanya.
Sepakat kita katakan yang mencolok dari JLR adalah bahasanya, penempatan nomina yang tidak biasa dan penjelajahan dimensi: lukisan, kota Luar, istilah-istilah asing yang kurang akrab di Indonesia. Oleh sebab itu, pengetahuan luar sebelum membaca Nirwan mestilah ada Bahasa yang sedemikian misteri, mengawang, dan menjelajah itu diproduksi oleh seorang penyair yang juga mempelajari bahasa dengan berbagai jalan.
“Blues” adalah penjelajahan individual. Bahasa yang hiperbola dipastikan merupakan seduhan bagi pengalamannya terhadap kisah pedih.

Sampai mawar-halilintar itu tumbuh subur melebihi wajahku sendiri. Lihat, betapa durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi. Tapi aku segera terbangun, menguncup, menusuk bola matamu, sebelum akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari… (Blues)


Tidak ditemukan pembicaraan yang serius mengarah ke konteks politik. Semua sajaknya hampir membicarakan yang entah. Kalimat demi kalimat berloncatan, namun membekasaskan metafora, kalibut, dan nama-nama. Bahkan serupa ruang batin yang begitu sederhana: sebagaimana anak melukis apa yang dilihatnya di alam. Tengok sajak, “Apel”, “Tiga Biola Tuan Gris”, yang bagi saya adalah pemadatan deskripsi dan lingkar posisi, penerapan leksem-leksem Tidak sebagaimana sajak Taufik Ismail, yang memetuah, mengajar, mengajak, dan menghimbau pembaca agar berhati jernih.
Hampir dipastikan semua sajak Nirwan mengarah ke pergolakan dirinya dengan seseorang lain, yaitu sisi lainnya sendiri. Terlihat di sajak “Kopi”.

Di tangan lelaki itu, kami coba bersabar.
Namun betapa cangkir ini gemetar
oleh tubuh kami, gairah kami
yang luas seperti langit Potosi.
Menuju kami wajah lelaki itu.
Kami akan naik ke mulut lelaki itu,
aku dan kembaranku,
aku dan seteruku:
(Kopi)




Nirwan Dewanto

JLR adalah himpunan sajak Nirwan yang pertama. Sebelumnya pada tahun 90-an, ia merencanakan akan membuat buku sajak dengan judul “Buku Cacing”. Namun, hal itu diurungkan sebab ia menganggap karya lamanya tidak berkenan di hatinya, atau seorang Nirwan belum mendapatkan puncak sajaknya.
Nirwan bekerja sebagai kurator seni rupa di Tater Utan Kayu. Pekerjaan ini meyakinkan saya, ia menuliskan banyak istilah lukisan dan patung dalam JLR. Nirwan berkhidmat sebagai penulis artikel di Freedom Institute. Selain itu, ia mengurus Jurnal Kalam, asuhan Teater Utan Kayu.
Orienasi Nirwan adalah penjelajahan yang bebas, sajaknya lepas sebagaimana ideologinya yang tidak tercantum dalam ideologi yang mencolok. Ia memang berada di Jaringan Islam Liberal, tapi dalam sajaknya tidak saya temukan falsafah pembicaraan Tuhan secara inten.







Daftar Bacaan

Dewanto, Nirwan. 2008. Jantung Lebah Ratu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
--------------------. “Dalam Bayangan Kanon Sastra.” Kompas 29 Januari 1995, 17.
Jassin, H.B. 1983. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Sastrowardoyo, Subagio. 1980. Sosok Penyair dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern Jilid II. Bandung: Karya Nusantara.
Wibowo, Wahyu. 1991. Model Waktu dalam Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono.
Jakarta: Balai Pustaka.

*Lelaki kelahiran Jakarta 1986 ini masih menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Budaya UI. Peminat sastra, filsafat, musik (indie), agama dan budaya.